Museum Batik Yogyakarta

Menapaki jejak batik di  3 kota: Jogja, Pekalongan dan Solo memang diniatkan untuk mencari makna di balik motif cantik batik yang lestari diturunkan dari generasi ke generasi. Proses pembuatan bahan sandang dengan cara perintang warna ini termasuk cara yang kuno tetapi tetap ada sampai sekarang. Tentunya selain keindahan dan kekayaan motif, tersimpan makna yang mendalam yang tak mungkin ditinggalkan begitu saja atas nama kepraktisan atau  sekedar mengejar perkembangan jaman.

Sasaran yang dituju dari 3 kota ini adalah Museum Batik, yang dalam bayangan pastinya menyimpan koleksi-koleksi motif tradisional khas kota tersebut. Seperti dongeng sebelum tidur, makna atau mitos  dari desain motif yang indah diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kolektor  batik motif tradisional  diharapkan mengerti makna yang tersimpan, pengaruh budaya pada pengembangan desain hingga lahir motif tersebut, dan dibagikan pada pengunjung museum. Dengan begini wisata ke museum batik bisa menjadi proses pengayaan bagi pencinta batik, produsen batik, pencinta desain dan pencinta sejarah. Beruntung tujuan pertama jatuh pada Museum Batik Yogyakarta. Museum yang menyajikan 1200 koleksi pribadi dari pasangan Dewi Sukaningsih dan alm. Hadi Nugroho yang juga pemrakarsa dan pendiri museum yang diresmikan  pada 12 Mei 1977 ini.

Dari jalan utama Jl. Dr. Sutomo, pengunjung disambut jalan pribadi yang lega dengan pintu gerbang terbuka.  Dari pintu gerbang pandangan melayang ke bangunan megah di pojok kiri yang ternyata merupakan Hotel Batik milik putra Bu Dewi. Museum Batik Yogyakarta yang dituju ternyata menempati bangunan depan di sebelah kanan gerbang, berukuran dan berdesain  lebih sederhana dari  Hotel Batik. Sangat kontras dibandingkan koleksi batik yang dimiliki museum ini.

Museum ini memili koleksi batik tua yang dibuat tahun 1800-an dengan pengaruh desain  Belanda yaitu buketan  (rangkaian bunga). Motif buketan mewakili batik pesisir dari Pekalongan  dengan desainer terkenal Belanda masa itu, E Van Zuylen. Selain batik Pekalongan, batik Djawa Hokokai yang mendapatkan pengaruh dari masa pendudukan Jepang , batik Lasem, dan batik Cirebon juga  menjadi bagian dari koleksi museum ini. Termasuk di dalamnya yaitu Batik Cina yang dikerjakan di kota Yogya dahulu dinamakan Batik Sing yang berwarna keunguan.

Batik-batik dengan motif tradisional Yogyakarta dan Solo juga menjadi bagian yang memikat dari koleksi museum ini yang kemudian dijelaskan perbedaannya terletak pada warna batik dan juga ukuran motifnya. Batik Solo cenderung berwarna coklat atau berlatar sogan, motif berukuran lebih kecil dengan desain lebih feminim  sementara batik Yogya mulai memunculkan latar putih dan ukuran motif lebih besar sehingga berkesan lebih gagah.

Sayang sekali koleksi batik di Museum ini tidak boleh difoto, sehingga beberapa makna dan pemakaian berikut ini kurang bisa digambarkan dalam motif batiknya. Bapak Prayogo, dari Museum Batik Yogyakarta menerangkan hal-hal menarik dari arti motif dan pemakaian motif tersebut dalam upacara adat seperti: Motif Wirasat (firasat) dahulu dipakai oleh orang dipercaya penuh seperti misalnya pengawal istana. Dengan filosofi yang sama apabila untuk kepala keluarga, motif yang cocok adalah sidho mulyo.

Motif batik Kokrosono yang merupakan tokoh pewayangan, putra Basudewa raja Maduran, mengandung makna 'jangan melihat orang dari rupanya tetapi dari hatinya'. Lain lagi dengan motif Kawung yang merupakan lambing kesetiaan dipakai oleh abdi dalem  pada upacara adat. Untuk yang jarang melihat motif jahe dipakai sebagai ‘isen-isen’ atau lataran batik, bisa melihatnya di museum ini. Jahe merupakan simbolisasi dari rakyat. Sementara Motif parang Curigo Kesit pada jaman Pak Harto digunakan untuk seragam darmawanita, yang tentunya sebagai simbol kesetiaan istri pada suami.

Ternyata ada motif batik yang sangat unik yang menjadi bagian dalam upacara pernikahan yaitu motif Lar Gurda Rambutan. Dipakai oleh orang tua pasangan yang menikah ketika sudah di rumah yang merupakan tanda bahwa rumah sudah kosong dan siap menerima pasangan yang menikah tersebut tetapi pasutri belum bisa menunaikan malam pertamanya apabila belum mendapatkan kain bermotif Lar Kupu Rambutan. Bahkan surat ijin malam pertama berupa kain batik…

Ibu Dewi Sukaningsih merupakan generasi ke-4 dari pengusaha batik bermerek ‘Golekono’yang berjaya pada masa 1930. Pada masa Bu Dewi berganti nama menjadi Oscar kemudian berubah nama lagi menjadi Batik Museum yang mengkhususkan pembatikannya mengerjakan replikasi dari koleksi museum. Pengunjung museum boleh memilih batik koleksi museum yang disukainya dan memesan replikasinya. 

Bicara batik tidak bisa terpisah dari kebaya, dan museum ini menyimpan koleksi kebaya sulam sangat halus buatan Ny Ang Djie Kiat. Menurut Bu Dewi benang yang digunakan Ang Djie Kiat beda dari benang-benang yang ada sekarang sehingga kehalusan sulamannya tidak tertandingi. Tidak hanya bakat mendesain batik tetapi bakat menyulam menurun pada Bu Dewi Sukaningsih. Sulaman potret wajah tokoh-tokoh dunia seperti Bunda Teresa, Paus Yohanes II, Bung Karno, Lady Diana dan banyak lagi tergantung di dinding pada sudut pajang koleksi Sulaman. Menggunakan nama baptisnya Jumima, sulaman-sulaman itu ditandatanganinya.  

Atas usaha Estafet Canting Menembus Waktu, Ibu Dewi Sukaningsih mendapatkan penghargaan   Nugraha Lastari yang merupakan penghargaan kepada seseorang atau organisasi atas upaya aktif melestarikan kekayaan seni-budaya tradisi dari Majalah Kabare. Kebetulan majalahnya datang pada saat bincang-bincang dengan Bu Dewi . Anugerah Nugraha Lastari diserahkan oleh Direktur Eksekutif Kabare Magazine, KRMT Indro ‘Kimpling’ Suseno pada acara malam penghargaan yang diadakan oleh Majalah Kabare dan beberapa tokoh mahadaya Budaya (baca ulasannya pada tautan berikut).

Menutup perbincangan dengan @batikIDku, Ibu Dewi Sukaningsih meyakinkan bahwa usahanya melestarikan Museum ini diupayakan dengan meneruskan kepemilikan museum pada 3 anaknya. Kenapa tidak ke salah satu anaknya saja tetapi ke-tiganya merupakan caranya mencegah dijualnya museum ini ke tangan lain. Visinya tak cuma ke generasi di bawahnya langsung tapi bahkan tiap anaknya pun diminta untuk memilih salah satu dari anak mereka untuk mewarisi museum ini.
Jadi Bu Dewi Sukaningsih akan mewariskan museum ini pada 3 anaknya dan kemudian akan diteruskan lagi ke  3 cucunya...hingga museum ini tetap lestari lewat 'estafet 3 generasi'...

Komentar

  1. Hai, salam kenal ya kak dan terima kasih untuk informasinya. Mau belanja kain batik dengan berbagai motif, tapi masih bingung dimana tempatnya?.. Kunjungi toko kain online kami dan dapatkan penawaran menarik lainnya.. Regards : fitinline..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sepotong Cerita Indonesia

Gebrakan Generasi ke-3 Oey Soe Tjoen

Pengumuman Finalis Lomba Desain Batik HUT RI ke-66